KAIN KAFAN YESUS (KAIN KAFAN TURIN)

 KAIN KAFAN YESUS (KAIN KAFAN TURIN

A.  APA ITU KAIN KAFAN TURIN ?
     Kain kafan Turin disebut juga kain kafan kudus yang dalam bahasa Itali biasa disebut  “La Santa Sindone” (Kain Kudus). Kain kafan ini adalah sehelai kain lenan yang berukuran : panjang = 4,36 m atau 14 kaki 3 inci dan lebar 1,10 m atau 3 kaki 7 inci. Jenis tenunannya adalah ‘tualang ikan’. Kain kafan ini adalah dokumen yang paling jelas dari suatu penyiksaan dan penyaliban yang pernah diselidiki oleh para ilmuan untuk melihat peristiwa yang tersembunyi di dalamnya. Wafat dari seorang manusia yang dihukum mati, didera, dimahkotai duri, ditombak, dan kemudian dibungkus telanjang dengan kain lenan itu sebelum dimakamkan tanpa dimandikan lebih dulu dan diurapi dengan beberapa jenis minyak. Kain ini diyakini sebagai kain yang dipergunakan Yusuf dari Arimatea untuk membungkus tubuh Yesus Kristus (Mat 27: 59).Gambarnya sangat halus membuktikan bahwa jenasah itu tidak menggalami kehancuran/ pembusukan yang pasti akan merusakkan keutuhan kain lenan itu sendiri. Penyelidikan darah yang masih bisa dilihat di atasnya membuktikan bahwa jenasah itu tidak dicuri. Darah itu adalah darah setelah mati  atau(1)post mortem yang sudah membeku dan mengalami proses(2 ) fibrinolisis yang terjadi dalam jangka waktu tertentu (35 – 36 jam). Waktu itu sesuai dengan iman Kristiani menyangkut waktu yang dilewati Yesus dalam makam sebelum kebangkitan.

B.  SEJARAH KAIN KAFAN TURIN
“Maka berangkatlah Petrus dan murid yang lain itu ke kubur.... . Petrus masuk ke dalam kubur. Ia melihat kain kafan terletak di tanah, sedangkan kain peluh yang tadinya ada di kepala Yesus tidak terletak dekat kain kapan itu, tetapi di samping di tempat yang lain dan sudah tergulung (Yoh 20: 37) Yerusalem dihancurkan oleh balatentara Roma tahun 70 M. Hampir semua penduduk melarikan diri termasuk jemaat perdana, termasuk yang kemungkinan membawa kain kafan Yesus saat itu. Kemudian peristiwa yang lebih dahsyat terjadi tahun 132 M, seluruh Palestina dihancurkan, sepanjang peristiwa ini kain kafan diperkirakan dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain. Dan akhirnya ke luar Palestina.
Pada tahun 525 di gereja St. Sovia di Edesa, ditemukan wajah Yesus di atas kain yang disebut mandilon (Sapu Tangan).
Pada tanggal 16 Agustus 944 Mandilino dibawa dengan perarakan meriah ke Konstantinopel. Setelah Mandilino dibuka untuk memperbaiki bingkainya, ternyata kain didapati lebih besar dari yang nampak. Kain itu dilipat 8 kali. Gambar yang ada pada kain, bukan hanya gambar wajah Yesus melainkan seluruh tubuhNya. , bagian depan dan belakang. Kain kafan berada di Konstantinopel sampai tahun 1261.
Pada tahun 1353 kain kapan dimiliki keluarga bangsawan Prancis Goffrey de Charny.Oleh Margaretha de Charny  dihadiahkan kepada keluarga kerajaan Savoia. Keluarga kerajaan Savoia mendirikan kapel untuk menyimpan kain tersebut. Pada malam antara 3 dan 4 Desember 1532 terjadi kebakaran di kapel Chambery di Savoi yang merusak keutuhan kain kafan. Untung gambar belakang dan depan tidak ikut rusak.
Kemudian pada tahun 1578 kain kafan dipindahkan dari Chambery ke Turino oleh Pangeran Emanuele Filiberto untuk mempermudah ziarah Kardinal St.Karolus Boromeus yang ingin melihatnya.
Pada abad XVII kain ditampilkan untuk pertama kalinya oleh Guarino Guarini.
Pada tahun 1694 kain diperbaiki oleh 
Sebastian Velfre, kemudian dilanjutkan oleh biarawati Poor Claare. Lalu diperbaiki lebih lanjut oleh Clotilde dari Savoi tahun 1868. Kain kapan dimiliki oleh keluarga Savoi sampai tahun 1940. Kemudian diberikan pada Tahta Suci pada tahun 1983.
Pada tanggal 11 April 1997 sebuah 
kebakaran yang dicurigai disengaja oleh pihak tertentu mengancam kain kapan. Pada tahun 2002 kain kafan diperbaiki kembali sehingga dimungkinkan untuk dipotret dan diteliti lebih lanjut.

C.  ISI PEWARTAAN KAIN KAFAN
1)      Penderaan
Penderaan ini adalah hukuman tersendiri yang dilaksanakan sebelum orang dibebaskan (Luk 23 : 16) di mana Pilatus berjanji melepaskan Yesus setelah disesahnya. Jadi benar Pilatus ingin melepaskan Yesus setelah Dia disesah, hal itu terbukti dari adanya bukti gambar pada kain kafan.
Pertama : Terbukti bahwa Yesus dipukul ± 120 kali dan pada seluruh tubuh. Tanda ini bahwa Yesus diderah menurut hukum Romawi yang tidak mengenal batas ( Hukum Yahudi membatasi sampai 40 kali). Tetapi para pelaksana hukum ini kelihatan ahli dalam memukul, sebab mereka tidak memukul Yesus pada bagian (4)perikardium. Sebab jika demikian hal itu dapat menyebabkan si terhukum mati sehingga mereka harus mempertanggungjawabkan itu pada hakim.
Kedua: Dari penelitian kain kafan muncul bukti alat lain, yakni jenis cambuk yang dipakai adalah (5)“Flagrum taxillatum”yang dijulki pengarang ternama Latin Oratius “horrible” maka dari situ jelas bahwa terhukum bukan orang Romawi yang tidak boleh dihukum dengan alat itu. Pukulan pukulan meninggalkan bekas konvergen ke dua arah, tanda bahwa yang mendera Yesus dua orang, sebelah kiri dan kanan. Nyata juga bahwa penderaan ini dilakukan dalam keadaan terhukum terikat, sebab biasanya dilaksanakan sambil terhukum memikul palang salibnya menuju tempat penyaliban, jika demikian pukulan- pukulan mesti tidak teratur dan berserakan di seluruh tubuh.
Ketiga : Kain kafan juga menunjukkkan dua luka memar di daerah bahu dan sekaligus luka- luka cambuk. Itu berarti bahwa penderahan dilakukan sebelum penyaliban.

2)      Pemahkotaan Duri
“Mereka menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di atas kepalanNya” (Mrk 15:7. Hukuman ini tak pernah dilakukan oleh tentara Romawi sebelumnya dan tidak ada bukti bahwa telah dilaksanakan pada orang lain juga.Apakah mungkin pemahkotaan itu ada hubungannya dengan ucapan Pilatus, “Apakah Engkau Raja ?” Suatu ikatan rantai berduri ditekankan di kepala Yesus. Pilatus sendiri heran dengan penderaan itu, “Itukah manusia itu ?”
Namun cara para serdadu melaksanakan pemahkotaan itu sangat keji sehingga tertera pada kain kafan. Seluruh kepala memperlihatkan aliran- aliran darah, yang menunjukkan tanda bahwa seluruh kepala ditutupi oleh ranting- ranting berduri itu. Lagipula dikatakan bahwa setelah penderaan dan pemahkotaan duri dikenakan kembali pakaian padaNya. (Mrk 15 :2). Perlakuan ini juga merupakan pengecualian sebab biasanya menurut hukum Roma terhukum didera telanjang menuju ke tempat penyaliban. Dari kain kafan kita mengetahui bahwa Yesus benar- benar mngenakan pakaianNya dalam perjalanan menuju Kalvari. Sebab seandainya tidak mengenakan pakaian pasti luka Nya akan lebih parah, bukan hanya memar. Dari gambar pada kain kafan nampak luka pada punggung kanan dan juga kiri. Jadi yang dipikul adalah sebuah palang yang memanjang dari pundak yang satu ke pundak di sisi lainnya. Palang itu bukan berupa kayu menyilang melainkan  sebatang saja. Yang dibawa si terhukum ialah palang horisontal sedangkan palang Vertikan telah ditegakkan di tempat penyaliban.

3)      Bantuan Simon Dari Kirene
Pengecualian lain terjadi ketika Simon dari Kirene dipaksa memikul salib Yesus. Barangkali ada yang mengira bahwa itu dilakukan karena serdadu kasihan melihat Yesus; sama sekali tidak ! Itu dilakukan hanya karena agar sang terhukum dapat sampai di tempat penyaliban dengan hidup. Sebab serdadu khawatir jangan- jangan Yesus wafat sebelum disalibkan sehingga mereka kehilangan kesempatan menyalibkan Raja orang Yahudi. Seandainya si terhukum meninggal di jalan maka mayatnya akan dibiarkan di situ atau diberikan pada binatang atau diberikan pada keluarganya, itulah yang sering terjadi jika ada kasus demikian. Pada kain terlihat pula luka memar pada wajah yang memperlihatkan bahwa Ia jatuh berkali- kali, dapat mengakibatkan geger otak.
Kebencian terhadap tersalib ini menunjukkan siksa yang amat hebat sehingga terhukum cepat mati, hal ini terbukti dari penelitian (6)geniometer  dan penelitian melalui foto, hal- hal lain juga dapat diketahui dari penelitian kain kafan, seperti :
Keberanian Yusuf dari Arimater, murid tersembunyi Yesus yang menghindarkan kehinaan terakhir dari jenazah Yesusmyakni sesuai tradisi mayat tersalib dikuburkan dalam lubang umum.
Sesuai aturan biasanya bahwa mayat tersalib dimandikan terlebih dahulu sebelum dikuburkan namun Manusia Tersaib tidak dimandikan lebih dahulu. Hal itu nampak pada bekas darah yang bercampur debuh pada kain kafan.

4)      Penyaliban
Semakin kurang berita dari Injil mengenai penyaliban, semakin ramai penyelidikan kain kafan. Dari penelitian nampak jelas bahwa untuk Yesus para pelaksana hukuman tidak memakai cara- cara yang dapat meringankan atau memperpanjang hidup terhukum. Mereka tidak memakai cara yang ‘lebih ringan’ sebab hari sabat sudah dekat. Mereka memilih memakai paku (7) atrotia crucis kata Tertullianus daripada tali. Paku itu dimasukkan pada pangkal tangan dan bukan pada telapak tangan. Ibu jari yang tertekuk ke dalam telapak  menunjukkan bahwa  paku menancap pada urat medium (Nadi).
            Penelitian aliran darah pada lengan bahwa terhukum bergerak ‘naik turun’ dengan bertopang pada paku tangan dan kaki untuk bernafas. Ia sangan menderita perlakuan ini. Hal ini juga menunjukkan bahwa terhukum dipaku pada posisi lengkung agar Ia bisa bernafas. Aliran darah itu ada yang hanya sampa ke siku dan ada yang langsung jatuh ke tanah.
Gerakan yang naik turun serta aliran darah menunjukkan bahwa Yesus tidak diberi kursi penopang pada pergelangan paha seperti pada orang yang diingini agar menderita lebih lama. Sehingga Tubuh Yesus bertopang seluruhnya pada ketiga paku.
            Barangkali ejekan para Farisi kepada Yesus, “orang lain Ia selamatkan sedangkan diriNya sendiri tidak bisa” berkaitan dengan usaha Yesus bernafas seolah mau melepaskan Diri dari paku dan salib. Keadaan yang demikian pasti tidak berlangsung lama; beberapa jam saja sudah cukup untuk mengakibatkanNya wafat. Biasanya penyaliban berlangsung lama biasanya ada yang sampai berhari- hari. Hal itu tergantung cara penyiksaan dan penyaliban. Maka tak heranlah bahwa Platus merasa heran ketika mendengar bahwa sorenya Yesus telah wafat oleh sebab ia sering mendengar bahwa penyaliban berlangsung cukup lama.

5)      Wafat dan Luka Tombak
Seorang serdadu “menikan lambungNya dengan tombak dan segera mengalir keluar darah dan air.” Perlakuan ini merupakan hal khusus sebab di Yerusalem saat itu adalah kegiatan mematahkan kaki terhukum. Seperti untuk kedua penyamun yang disalibkan bersama Yesus. Hal luka tombak juga terbukti pada kain kafan dan tidak ada bukti lain dalam sejarahwa ada yang ditombak seperti Yesus. Luka tombak itu seukuran dengan tombak tentara Romawi pada jaman itu.
6)      Pengesahan Kain Kafan
“Segera mengalir keluar darah dan air”, itulah yang terjadi setelah serdadu menikam lambung Yesus dengan tombak.  Kebiasaan di Yerusalem yang dihormati juga oleh orang Roma adalah mematahkan betis untuk mempercepat kematian para tersalib. Rupanya pada manusia kain kafan terjadi sesuatu yang lain : Kemungkinan Ia meninggal sebelum hal itu dilakukan. Maka serdadu (exactor mortis) untuk memastikan betul bahwa Ia sudah wafat menombakNya melalui rusuk dan mencapai jantung bagian kanan. Hal inilah yang dicatat Yohanes murid Yesus yang menyaksikan sendiri hal itu. Dari luka terganga itu (karena Ia sudah mati dan dingin) keluar darah dan air (serum) dan hal ini sangat nampak pada kain kafan.
Itu berarti Manusia Kain Kafan (Yesus) telah wafat beberapa waktu sebelum ditombak karena serangan jantung, sehingga di dalam perikardium telah terjadi proses pemisahan antara darah yang ada di bawah dan serum yang lebih ringan di atas. Pada saat dada manusia itu ditombak cairan ini yang keluar dengan segera. Di antara banyak hipotesa penyebab wafat manusia kain kafan (Yesus) justru diajukan pada seabad yang lalu oleh W. Stroud, President Royal Medical Society di Edimburg (1847), dan yang sekarang diangkat kembali  oleh Equipe Kardilog : Mati karena serangan jantung atau menurut istilah dari W. Stroud “rupture of heart”. Teori inilah satu- satunya yang dapat memuaskan karena cocok dengan teologi.
Seandainya kain kafan adalah hasil penipuan orang, sang penipu itu seharusnya memilih seorang yang sudah mati sejak 2 jam karena serangan jantung. Ilmu kedokteran pada abad- abad yang lalu belum mengetahui banyak tentang hal- hal serangan jantung. Pilihan penipu itu seharusnya dilakuka pada orang yang terserang untuk pertama kalinya dan kemudian dia mati karena pecah jantungnya. Kemudian diakhiri dengan ditombak jantung itu sehingga bisa keluar darah dan air. Selain itu orang yang dipilih itu harus didera, dimahkotai duri, kemudian berjalan sambil memikul patibulum. Kemudian jatuh berkali- kali lalu mengalami (8)ecchimosis. Dan seharusnya lagi ia sungguh- sungguh mengalami penyaliban dengan dinamika seperti yang telah tertera di kain kafan , lalu berakhir dengan wafat.
Selain itu ia harus dibiarkan tergantung di salib beberapa jam agar darah sempat mengalami proses (9)sedimentaty dalam perikardium. Kemudian tombak seharusnya menembus jantung sehingga cairan langsung keluar. Beberapa jam kemudian (sewaktu diturunkan) masih dapat keluar lagi sehingga dapat membasahi bagian pinggang manusia kain kafan persis sererti tertera pad kain kafan. Semuanya itu berakhir dengan pembalutan jenasah itu dengan kain baru di masa Yesus sendiri.
            Semuanya in seharusnya dikerjakan pada seseorang yang masih hidup, sebab sebagian darah adalah darah (10)ante mortemdan berakhir dengan seorang yang telah disalibkan, dara yang keluar setelah wafat. Semuanya ini seharusnya diperhatikan oleh si penipu. Mungkinkah itu ?
            Akan tetapi semuanya ini sama dengan apa yang terjadi dengan Yesus Kristus yang mengalami sengsara seperti tertulis dalan Injil.
            Dalam injil Yohanes terdapat bebetapa hal yang tidak terdapat dalam Injil sinoptik. Sebab Yohanes adalah saksi mata, ia membuka jalan bagi kita untuk memahami sengsara Yesus.
            Pada saat Yesus dimakamkan, jenasahNya disiapkan sebagamana lazim orang Yahudi. Yohanes meninggalkan catatan. Yang pertama, “mereka…. mengafaniNya sengan kain lenan dan membubuhiNya dengan rempah- rempah menurut adat orang yahudi ketika menguburkan mayat”(Yoh 19 :7). Yang kedua : “… sedang kain peluh  yang tadinya ada di kepala Yesus….” (Yoh 20:7 ).
Kain peluh apa itu ?
Belum pernah dikatakan  bahwa pada saat Yesus diturunkan dari salib wajahNya ditutupi dengan kain peluh. Hal itu dilakukan untuk menghindari orang (Sanak keluargaNya) melihat wajah yang sungguh sudah rusak. Dengan menggunakan kain ini dan kain kafan maka wajahnNya  nampak lebih bersih.Sebab bagian dari keringatNya sudah teresap oleh kain peluh ini.
Kita tahu bahwa secara kronologis dia tahu bahwa Injil sinoptik ditulis sekitar tahun 45 – 70 M, sedangkan Yohanes sekitar tahun 95 M. Yang penting bagi kita bahwa Yohanes bukan saja menulis melainkan juga menjadi saksi mata dalam peristiwa yang dicatatnya. Dialah yang menyaksikan jalannya pengadilan, penderahan, pemahkotaan duri, ia menyaksikan di kalvari wafat Yesus, dan  ia mencatat  bahwa serdadu menusuk lambungNya dengan tombak, ia melihat darah dan air keluar dari luka itu. Dia juga pasti membantu menurunkan jenasah Yesus dari salib, ia melihat kain peluh dipasang di wajah Yesus. Pasti juga hadir di makam untuk melangsungkan dengan singkat penaburan rempah- rempah (Hal ini terbukti dari catatan bahwa itulah adat orang- orang Yahudi menguburkan mayat); juga pada hari berikutnya ia lari ke makan itu bersama Petrus untuk melihat makam itu terbuka. Dan di situ justru kain kafan dan kain peluh  yang menjadi sorotannya, sebab, “Kain kafan terletak di tanah, sedangkan kain peluh yang tadinya di kepala Yesus….” (Yoh 20 : 7).

 D.  PANDANGAN GEREJA
Antipaus Clemens VII memilih tak berkomentar tentang kain kafan, namun paus berikutnya dari Julius II mengakui keaslian kain. Surat kabar Vatikan Osservatore Romano menutupi kisah foto Secondo Pia 28 Mei 1898 di edisi 15 Juni, tetapi ia melakukannya tanpa komentar dan selanjutnya pejabat Gereja pada umumnya menahan diri resmi mengomentari foto selama hampir setengah abad.
Pernyataan resmi pertama gambar pada Kain Kafan oleh Gereja Katolik dibuat pada tahun 1940 berdasarkan permintaan resmi oleh Suster Maria De Pierina Micheli ke kuria di Milan untuk mendapatkan otorisasi untuk menghasilkan medali dengan gambar. Otorisasi diberikan dan medali pertama dengan gambar itu ditawarkan kepada Paus Pius XII yang menyetujui pembuatan medali. Gambar itu kemudian digunakan pada apa yang dikenal sebagai Medali Wajah Kudus dipakai oleh banyak umat beriman, awalnya sebagai sarana perlindungan selama Perang Dunia II. Pada tahun 1958 Paus Pius XII menyetujui gambar dalam hubungan dengan devosi kepada Wajah Kudus Yesus, dan menyatakan pesta yang harus dirayakan setiap tahun sehari sebelum Rabu Abu. Setelah persetujuan oleh Paus Pius XII, devosi untuk Wajah Kudus Yesus secara eksklusif terkait dengan gambar pada kain kafan.

Pada tahun 1983 Kain Kafan diberikan kepada Tahta Suci oleh House of Savoy. Namun, seperti dengan semua peninggalan semacam ini, Gereja Katolik Roma tidak membuat pernyataan mengklaim apakah ini kain kapan milik Yesus ataukah itu adalah pemalsuan. Seperti lainnya devosi Katolik disetujui dan diserahkan kebebasan kepada keputusan pribadi umat beriman, selama Gereja tidak mengeluarkan pelarangan.

Paus Yohanes Paulus II menyatakan pada tahun 1998 bahwa:. "Karena itu bukan masalah iman, Gereja tidak memiliki kompetensi khusus untuk mengucapkan pertanyaan-pertanyaan Dia mempercayakan kepada para ilmuwan tugas untuk terus menyelidiki, sehingga jawaban yang memuaskan mungkin dapat ditemukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kain ini ". Paus Yohanes Paulus II sangat tersentuh oleh citra Kain Kafan yangdipertunjukan kepada publik pada tahun 1998 dan 2000. Dalam pidatonya di Katedral Turin pada Minggu, 24 Mei, 1998 (kesempatan 100 tahun Secondo Pia, 28 Mei 1898 foto), ia berkata"Kain kafan adalah sebuah gambar dari kasih Allah serta manusia dosa [...] Tanda yang ditinggalkan oleh tubuh yang dibalut kain menunjukkan penyiksaan salib, yang membuktikan kemampuan manusia yang luar biasa untuk menyebabkan rasa sakit dan kematian bagi  sesamanya.Nampak sebagai ikon dari penderitaan orang tak bersalah di setiap zaman. "Puncak dari Kunjungan Pastoral Bapa Suci adalah kunjungan ke Kain Kafan Kudus yang disimpan di Katedral Turin. Di sana Paus berlutut dalam doa di hadapan Sakramen Mahakudus dan di hadapan Kain Kafan Kudus. Dalam Liturgi Sabda, sesudah pembacaan Injil (Yohanes 20:3-8), Bapa Suci menyampaikan amanat berikut:
Saudara dan Saudari terkasih,
1. Dengan mata tertuju pada Kain Kafan, saya meyampaikan salam hangat kepada kalian semua, umat beriman Gereja Turin. Saya menyapa para peziarah yang telah datang dari segenap penjuru dunia pada saat pameran umum ini untuk melihat salah satu dari tanda-tanda paling mengguncang hati dari kasih sengsara Penebus.

Sementara saya memasuki katedral, yang masih memperlihatkan bekas-bekas kebakaran dahsyat tahun lalu, saya berhenti sejenak dalam adorasi di hadapan Ekaristi, sakramen yang adalah fokus perhatian Gereja dan, dalam rupa yang bersahaja, mengandung kehadiran Kristus yang sungguh, nyata, dan substansial. Dalam terang kehadiran Kristus di tengah kita, saya kemudian berhenti di depan Kain Kafan, Linen berharga yang dapat membantu kita untuk memahami dengan lebih baik misteri kasih Putra Allah bagi kita. Di hadapan Kain Kafan, gambaran dahsyat kesengsaraan dari suatu penderitaan yang tak terkatakan, saya hendak mengucap syukur kepada Tuhan atas anugerah unik ini, yang meminta perhatian penuh kasih dan kesediaan total mereka yang percaya untuk mengikuti Tuhan.

2. Kain Kafan merupakan suatu tantangan bagi inteligensi kita. Pertama-tama, Kain Kafan meminta dari setiap orang, teristimewa para peneliti, agar ia dengan kerendahan hati menangkap pesan mendalam yang disampaikan Kain Kafan kepada akal budinya dan hidupnya. Daya tarik misterius dari Kain Kafan mendorong diajukannya pertanyaan-pertanyaan mengenai Linen kudus dan sejarah kehidupan Yesus. Karena Kain Kafan bukanlah masalah iman, Gereja tidak secara spesifik memiliki wewenang untuk memaklumkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Gereja mempercayakan kepada para ilmuwan tugas untuk terus menyelidiki, agar didapatkan jawaban-jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan Kain ini, yang, menurut tradisi, membungkus tubuh Penebus kita setelah Ia diturunkan dari salib. Gereja mendesak agar Kain Kafan dipelajari dan diteliti tanpa prasangka-prasangka yang sudah terlebih dahulu memastikan hasil-hasil yang sebenarnya tidak demikian; Gereja mengundang mereka untuk bertindak sesuai kebebasan batin dan rasa hormat baik pada metodologi ilmiah maupun perasaan umat beriman.

3. Bagi mereka yang percaya, yang terpenting di atas segalanya adalah bahwa Kain Kafan adalah cermin Injil. Sesungguhnya, jika kita merenungkan Linen kudus, kita tak dapat menghindari pemikiran bahwa gambar yang disajikannya memiliki pertalian yang begitu erat dengan apa yang dikisahkan Injil mengenai sengsara dan wafat Yesus, hingga setiap orang yang peka merasa tersentuh batinnya dan tergerak hatinya jika memandangnya. Siapa pun yang menghampiri Kain Kafan juga sadar bahwa Kain Kafan tidak memikat hati orang pada dirinya, melainkan menghantar mereka kepada Dia, kepada siapa kasih penyelenggaraan Bapa telah dipercayakan. Sebab itu, adalah tepat untuk mengembangkan suatu kesadaran akan betapa bernilainya gambar ini, yang semua orang melihatnya namun tiada seorang pun sekarang ini yang dapat menjelaskannya. Bagi setiap orang yang bijaksana, Kain Kafan merupakan sumber permenungan yang mendalam, yang bahkan dapat mempengaruhi hidup orang. Dengan demikian, Kain Kafan adalah suatu tanda yang sungguh unik yang menunjuk kepada Yesus, Sabda Bapa yang sejati, dan mengundang kita untuk hidup seturut teladan hidup Dia yang telah memberikan DiriNya Sendiri bagi kita.

4. Gambaran akan penderitaan manusia tercermin pada Kain Kafan. Kain Kafan mengingatkan manusia modern, yang kerap kali terpikat oleh kemakmuran dan kemajuan-kemajuan teknologi, akan situasi tragis dari banyak saudara dan saudarinya, serta mengundangnya untuk bertanya pada diri sendri mengenai misteri penderitaan guna mengenali penyebab-penyebabnya. Gambar yang ditinggalkan oleh tubuh teraniaya dari Dia yang Tersalib, yang menegaskan kemampuan dahsyat manusia dalam mengakibatkan penderitaan dan kematian sesamanya, berdiri sebagai suatu ikon penderitaan dari mereka yang tak berdosa pada setiap abad: dari tragedi-tragedi yang tak terhitung banyaknya yang telah menandai sejarah di masa lampau dan drama-drama yang terus berlangsung di dunia. Di hadapan Kain Kafan, bagaimanakah mungkin kita tidak berpikir akan berjuta-juta orang yang mati kelaparan, akan kengerian yang dilakukan dalam banyak peperangan yang membanjiri bangsa-bangsa dengan darah, akan eksploitasi brutal terhadap perempuan dan anak-anak, akan jutaan manusia yang hidup dalam himpitan hidup dan kehinaan di pinggiran-pinggiran kota besar, teristimewa di negara-negara sedang berkembang? Bagaimanakah mungkin kita tidak cemas dan berbelaskasihan terhadap mereka yang tidak menikmati hak-hak sipil yang mendasar, kurban-kurban aniaya dan terorisme, budak-budak dari organisasi-organisasi kriminal? Dengan situasi-situasi tragis ini di benak kita, Kain Kafan tidak hanya mendorong kita untuk meninggalkan keegoisan diri, melainkan juga menghantar kita untuk menemukan misteri penderitaan, yang, dikuduskan oleh kurban Kristus, mendatangkan keselamatan bagi segenap umat manusia. Kematian bukanlah tujuan utama dari keberadaan manusia.

5. Kain Kafan adalah juga gambaran akan kasih Allah sekaligus dosa manusia. Kain Kafan mengundang kita untuk menemukan kembali alasan utama dari wafat Yesus yang menyelamatkan. Dalam sengsara tiada tara sebagaimana direkamnya, kasih Dia yang “begitu mengasihi dunia sehingga telah mengaruniakan PutraNya yang tunggal” (bdk Yohanes 3:16) dijadikan nyaris nyata dan menyingkapkan dimensi-dimensinya yang menakjubkan. Di hadapan Kain kafan mereka yang percaya hanya dapat berseru dalam segala kebenarannya, “Tuhan, engkau tidak dapat terlebih lagi mengasihiku!”, dan segera menyadari bahwa dosa bertanggung jawab atas penderitaan itu: dosa-dosa segenap umat manusia.

Sementara berbicara kepada kita mengenai kasih dan dosa, Kain Kafan mengundang kita semua untuk mengukirkan pada roh kita wajah kasih Allah, untuk mengenyahkan realita dosa yang mengerikan darinya. Kontemplasi atas Tubuh yang penuh sengsara itu membantu manusia masa kini untuk membebaskan diri dari kedangkalan keegoisan dengan mana manusia kerap memperlakukan kasih dan dosa. Dengan menggemakan Sabda Allah dan abad-abad kesadaran Kristiani, Kain Kafan berbisik: percayalah pada kasih Allah, harta pusaka terbesar yang dianugerahkan kepada umat manusia, dan jauhilah dosa, kemalangan terbesar dalam sejarah. 

10. Kain Kafan adalah juga gambaran akan ketakberdayaan: ketakberdayaan akan kematian, di mana konsekuensi utama dari misteri Inkarnasi dinyatakan. Kain pemakaman mendorong kita untuk mengukur diri kita menghadapi aspek paling menyedihkan dari misteri Inkarnasi, yang juga menunjukkan kebenaran begitu rupa dengan mana Tuhan sungguh menjadi manusia, mengenakan keadaan kita dalam segala hal, terkecuali dosa. Setiap orang terguncang oleh pemikiran bahwa bahkan Putra Allah tidak menghindarkan Diri dari kuasa kematian, melainkan kita semua tergerak oleh pemikiran bahwa Ia ambil bagian begitu rupa dalam kondisi manusiawi kita hingga rela menyerahkan DiriNya dalam ketakberdayaan total kematian. Inilah pengalaman Sabtu Suci, suatu tahap penting dalam perjalanan Yesus menuju Kemuliaan, dari mana seberkas cahaya bersinar atas duka dan kematian setiap orang. Dengan mengingatkan kita akan kemenangan Kristus, iman memberikan kepastian kepada kita bahwa makam bukanlah tujuan utama dari keberadaan manusia. Tuhan memanggil kita pada kebangkitan dan kehidupan kekal.

7. Kain Kafan adalah gambaran keheningan. Ada suatu keheningan tak terkatakan yang tragis, yang menemukan ekspresi terbaiknya dalam kematian, dan ada keheningan yang menghasilkan buah, yang menjadi milik siapapun yang menahan diri dari didengar secara lahiriah demi memahami akar-akar kebenaran dan hidup. Kain Kafan mengungkapkan tidak hanya keheningan kematian melainkan juga keberanian dan kemenangan keheningan atas kefanaan, melalui peleburan total dalam kehadiran Tuhan yang abadi. Dengan demikian menawarkan suatu peneguhan yang menggerakkan hati akan kenyataan bahwa kemahakuasaan kerahiman Tuhan kita tak terhalang oleh kuasa jahat apapun, melainkan sebaliknya tahu bagaimana menjadikan kuasa kejahatan yang paling ngeri sekalipun untuk menghasilkan yang baik. Abad kita membutuhkan penemuan kembali manfaat keheningan, guna mengatasi hiruk-pikuk suara-suara, gambar-gambar dan percakapan-percakapan yang terlalu seringkali menghalangi suara Tuhan terdengar.

8. Saudara dan saudari terkasih: Uskup Agung kalian, Kardinal Giovanni Saldarini yang terkasih, Pelindung Kepausan untuk Kafan Kudus, telah menawarkan kata-kata berikut sebagai motto dari Pameran Khidmad ini: “Semua akan melihat keselamatan kalian”. Ya, para peziarah yang berbondong-bondong datang ke kota ini sesungguhnya “datang untuk melihat” tanda Sengsara yang tragis namun mencerahkan ini, yang memaklumkan kasih Penebus. Ikon Kristus yang ditinggalkan dalam keadaan kematian yang dramatis dan khidmad, yang selama berabad-abad telah menjadi subyek dari gambar-gambar yang menakjubkan dan selama seratus tahun, terima kasih kepada fotografi, telah begitu banyak kali direproduksi, mendorong kita untuk masuk ke dalam inti misteri hidup dan mati, guna menemukan pesan agung nan menghibur yang ditinggalkannya bagi kita.

Kain Kafan memperlihatkan kepada kita Yesus pada saat ketakberdayaan-Nya yang terdahsyat dan mengingatkan kita bahwa dalam kehinaan kematian itu terletak keselamatan seluruh dunia. Dengan demikian, Kain Kafan menjadi suatu undangan untuk menghadapi setiap pengalaman, termasuk pengalaman penderitaan dan ketakberdayaan hebat, dengan sikap mereka yang percaya bahwa kasih kerahiman Allah mengatasi segala kemiskinan, segala batasan, segala godaan untuk berputusasa.

Kiranya Roh Allah, yang tinggal dalam hati kita, membangkitkan dalam diri setiap orang kerinduan dan kemurahan hati yang diperlukan untuk menerima pesan Kain Kafan dan untuk menjadikannya inspirasi pasti bagi hidup kita.

11. Pada tahun 2000, Kardinal Ratzinger, kemudian dikenal sebagai Paus Benediktus XVI, menulis bahwa Kain Kafan Turin adalah "gambar yang benar-benar misterius, yang bukanlah karya tangan manusia. Berdasarkan data penelitian ilmiah semakin kelihatan banyak kesamaaan  antara kain kafan dengan peristiwa sengsara dan wafat Kristus. Pada bulan Juni 2008, tiga tahun setelah ia terpilih menjadi Paus ia mengumumkan bahwa Kain Kafan akan ditampilkan kepada publik pada musim semi tahun 2010, dan menyatakan bahwa ia ingin pergi ke Turin untuk melihatnya bersama peziarah lainnya. Selama kunjungannya di Turin pada hari Minggu, 2 Mei 2010 Benediktus menyatakan bahwa Kain Kafan dari Turin sebagai "Icon yang luar biasa". Icon " yang memiliki banyak kesamaan dengan kisah penderaan Yesus Kristus dalam Injil "." Ikon yang ditulis dalam darah, darah seorang pria yang dicambuk, dimahkotai duri, disalibkan dan yang sisi kanan tertikam ". Paus mengatakan juga bahwa  pada Kain Kafan Turin "kita memandang penderitaan kita dalam penderitaan Kristus". Pada tanggal 30 Mei 2010, Paus Benediktus XVI menyatakan beatifikasi Suster Maria De Pierina Micheli yang menciptakan Medali Wajah Kudus, berdasarkan pada foto Secondo Pia Kain Kafan.

E.   Pesan Kristus Tersingkap Dalam Kafan Turin
Ia mati karena Ia mau secara bebas.
Keselamatan manusia pertama-tama trjadi melalui suatu proses penuh kehinaan (katabasis), mati di salib, yang dialami oleh Puter ALLAH, yang secara bebas (sebagai Mesias penderita) namun sekaligus keselamatan itu tadi merupakan dan menjadi suatu proses pemuliaan (anabasis).
Pemuliaan Kristus mulai justru pada saat kerendahan manjadi paling nyata, di atas salib. Hal ini diungkapkan Yohanes “apabila aku ditinggikan dari bumi, aku akan menarik semua orang datang kepadaku” (Yoh 12, 32).
Yesus sendiri telah mengatakannya juga: “sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa...oleh karena aku mengambilnya dari padaku, melainkan aku memberikannya menurut kehendakKu sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari BapaKu.” (Yoh 10,15-18).
Jadi Yesus sendiri menyatakan diri “pemilik” hidupNya, yang diberikanNya karena Ia mau; tetapi ia bisa mengambilnya kembali juga: inilah kebebasan Kristus!
Ketegasan Yesus dalam melaksanakan/memenuhi kehendak Bapa dipertegas olehNya saat masuk Getzemani dan di Kalvari. Di Getzemani : Ini merupakan saat persembahan, di mana Kristus sendiri menjadi Imam dari korbanNya sendiri dan korban itu sendiri. Di sini juga piala yang diberikan Bapa, pahitnya sampai mati. Apa yang terjadi pada diri Kristus saat menerima piala itu (saat Yesus mau menerima kehendak Bapa) ?

F. Pandangan Ilmu Psikologi
 Dari segi psikologi trjadi dua reakasi: 
1 Dokter ini mengatakan bahwa penderitaan-penderitaan Kristus seperti dalam Injil diperkenalkan dalam dua fase berturut-turut : ketakutan sangat besar, kecemasan (kedua hal ini sering dicampur adukkan oleh pengarang) berbeda satu dengan yang lain, bahkan kontras.penderitaan yang sangat besar serta kekuatiran/kesedihan (bersifat depresif) yang melumpuhkan badan, sedangkan tekanan dan konflik batiniah menimbulkan kekuatan besar.
Dalam keadaan “ketakutan sangat besar” jantung melemah (oleh dokter sekarang disebut “insuficenza corner”, mengakibatkan orang berpeluh sedikit dan dingin; dalam keadaan ini sangat mudah terjadi serangan jantung.
Dalam keadaan kedua (penderitaan besar dan kesedihan)  jantung bereaksi dengan kekuatan besar dan menybabkan peluh yang banyak dan hangat, dan pada kasus tertentu terjadi peluh darah melalui pori-pori kulit, (Inilah Agony of mind).
Tetapi pengarang ini juga merefleksikan juga sebab-sebab peristiwa Getzemani ini. Dia mengatakan bahwa sebabnya itu adalah moral; maka sebab yang menyebabkan situasi ini adalah “teologi dosa”. Maka sakrat maut ini menyerang Yesus sebab dosa-dosa manusia. “sebab” ini menyebabkan pada Yesus reaksi fisik seperti yang dikatakan dalam teori W. Stoud. Dan kita tahu bahwa tekanan moral bisa menyebabkan reaksi fisik seperti itu.
Kita melihat, di Getzsemani, kemauan manusiawi Kristus, yang memilih secara bebas, memikul dosa-dosa manusia; dan Ia mengetahui apa akibatnya secara fisik dari penerimaan itu: jantungNya tidak akan mampu bertahan lama; maut akan menjadi akibat pasti dari pilihanNya itu. Kendati maut itu menjadi tanda dari kasihNya yang paling tinggi.
Yang pernah dikatakanNya dahulu, sedang terjadi di Getzemani: “tidak ada kasih yang lebih besar dari kasih orang yang berani mati demi shabat-sahabatnya”.
Perlu diperhatikan (lihat injil Lukas) bahwa “ematoidoris” (berpeluh darah) ini terjadi setelah Yesus didekati oleh Malaikat, hal mana menandakan peralihan dari ketakutan kepada status emosi, di mana Yesus secara Defenitif memilih kehendak Bapa; “bukan kehendakKu, melainkan kehendakMU”.
Semuanya ini menunjukkan bahwa Yesus dengan bebas menghadapi sengsaraNya; hal ini lagi terbukti dalam kata-kata yang diucapkanNya sesaat sebelum menyerahkan RohNya: “sudah selesaiI” (Yoh 19,30). Yaitu semuanya telah dilaksanakan; taat sampai mati! Ketaatan penuh kesadaran. Tidak ada ketaatan tanpa kesadaran. Inilah korban baru yang menggantikan semua korban Perjanjian Lama; Korban yang mempersembahkan diriNya seendiri. Bapa mempersembahkan PuteraNya, Putera mempersembahkan diriNya: inilah paradoks yang menakjubkan dari agama Kristiani.
Namun masalahnya belum terjawab sepenuhnya: apa yang mengakibatkan Yesus wafat?

13. Inilah teori W. Stoud (Presiden Royal Medical Society of Edimbug) yang bisa membuka jalan bagi pengertian kita. Kendati teorinya dikemukakannya jauh sebelum dan tanpa diketahui apa-apa mengenai anlisa-analisa Kain Kafan (karyanya dipublikasikan tahun 1874). Dia berkata bahwa kematian Yesus diakibatkan oleh “rupture of heart” (sesuai istilah waktu itu hati pecah), yang terjadi sebelum lambung Yesus ditombak; sebab Yohanes sendiri yang menyaksikan hal itu berkata bahwa “segera mengalir keluar darah dan air” (Yoh 19,34). Hal inilah yang menjadi bukti bagi Stoud bahwa Yesus telah mati karena hatiNya pecah, sehingga terjadi proses perpisahan antara komponen darah, yaitu darah dan serum.
Sebelum terjadi pecahan itu, Yesus yang sudah merasa bahwa saat terakhirnya telah tiba, maka Ia berkata “sudah selesai”; dan Yohanes menyambung lagi: “Lalu Ia menundukkan kepalaNya dan menyerahkan nyawaNya” (Yoh 19,30).
Maka apa yang menyebabkan Yesus wafat? Tadi sudah disebut banyak jawaban; namun yang terakhir ini adalah yang paling sesuai dengan Kristus: Dia wafat karena Ia mau! Dia mempunyai kuasa untuk memberikan hidupNya, dan memang memberikanNya pada saat Dia mau! Dan pengakuan perwira Roma membenarkan kata terakhir ini: “sungguh, orang ini adalah Anak Allah” (Mrk 15,39).

III.            PENUTUP

KESIMPULAN
Melalui kain kafan Turin Allah telah meninggalkan tanda bagi kita. Peristiwa penyelamatan terbesar sepanjang abad tergambar dalam sehelai kain. Kain kafan yang menggambarkan penderitaan dan wafat Kristus Putera Allah yang menebus dosa kita manusia.
Telah  jelas bahwa Dia wafat karena Ia mau! Dia mempunyai kuasa untuk memberikan hidupNya, dan memang memberikanNya pada saat Dia mau!
Tak henti- hentinya Kristus memberikan tawaran hidup dalam keselamatan melalui hidup kita sehari- hari.
Yang menjadi persoalan apakah kita kita cukup peka dan rendah hati untuk menyadari dan menghidupinya.
“Semoga Roh Kudus menerangi kita agar kita mampu menyadari tawaran hidup Kristus dalam hidup kita sehari- hari. Semoga ketika tiba masanya saat orang- orang yang Ia kehendaki masuk ke dalam Kehidupan  kekal kita termasuk salah satu di antara mereka. Amin”
By: Hardaely Palloan Pustaka: 
The Shroud of Turin dan Kitab Suci, Deuterokanonika


Komentar

Postingan Populer