LALAKIPADADA
“Mentari di Negeri Lingkaran Bulan”
(Lakipadada Seorang Pemuda Toraja)
Dahulu kala disuatu negeri pegunungan nun jauh di Tana
Toraja, hiduplah seorang pemuda yang gagah berani lagi murah hati, namanya
Lakipadada. Ia hidup bersama Ibu juga seorang adik perempuan, sedangkan ayahnya
telah menghadap Sang Khalik. Lakipadada sangat mengasihi mereka semua.
Memelihara hewan adalah kegemarannya, selain itu ia juga sangat mencintai alam
permai rajutan Sang Pencipta.
Pada suati hari ketika
Lakipadada kembali dari perburuannya di hutan, sesaat ia melangkah hendak memasuki rumah,
sontak saja ia terkaget melihat jasad Ibunda yang telah membujur kaku di atas balai- balai.
Lakipadada sangat sedih, nafasnya membawa serta ritme jangtung yang memompa
darah kian cepat dan tak menentu. Lagi adiknya di sisi mayat Ibu hanya dapat
membiarkan butiran bening mengalir perlahan melewati pipinya.
Peristiwa itu meninggalkan guratan luka dalam hati
Lakipadada. Sejak saat itu pula ia hanya tinggal bersama adik perempuannya,
Matemalolo. Ia juga ditemani beberapa hewan peliharaan salah satunya seekor
anjing pemburu. Lakipadada sangat mengasihi adiknya. Hingga pada suatu malam
yang mencekam ia kembali dihampiri peristiwa yang memilukan. Tiba- tiba tubuh
Matemalolo menderita kesakitan, suhu tubuhnya kian tak menentu, ia terus
menjerit sembari tetap menahan sakitnya. Hingga perlahan ia terdiam tanpa
suara, ternyata itulah saat terakhir kalinya Lakipadada bersama adik tercinta.
Di bawah pekatnya malam tanpa cahaya bintang dan rembulan kesedihan dan amarah
Lakipadada mencuat, “Mengapa ini harus terjadi? Tuhan, mengapa ini harus
terjadi padaku ? Aku telah kehilangan Ibuku, kini adik yang kusayangipun Kau
ambil daripadaku,” teriaknya memenuhi ruangan hingga bergema menembus Langit
kelam. Di tengah malam yang dingin berhembus angin sepoi penuh pilu menghampiri
tubuh Lakipadada. Ia terdiam sedih lagi membara sembari memeluk adiknya yang
telah kaku tak bernyawa. Ia menengadah sembari perlahan menarik nafas, “Aku
bersumpah akan mencari rahasia Hidup Kekal,” suara itu menggema sangat kuat
dalam hatinya, telah banyak ia menyaksikan kematian orang yang dikasihinya.
Setelah memakamkan adiknya dalam
suatu liang ia mengembara mencari Hidup Kekal ditemani seekor anjing
peliharaannya. Ia terus berjalan melalui bukit dan lembah menuju ke arah
selatan negeri itu.
Hingga
dia tiba di suatu
tepi pantai. Sejenak ia merebahkan dirinya dan tertidur di tepi pantai. Dalam
tidurnya ia melihat suatu pulau yang amat indah. Lalu tiba- tiba ia mendengar
suara,
“Lakipadada.....”
ia mencari arah datangnya suara namun tak seorangpun ada di sana.
Tak
lama kemudian kembali terdengar suara yang sama, kali ini suara itu bergemuruh.
Ia tersentak ketakutan, “Lakipadada, kalau hidup kekal yang kamu cari datanglah
temui Aku di pulau ini.” Tubuh Lakipadada gemetar ketakutan sembari menengadah
memandang arah datanya suara itu, sepintas nampak kelibat bayang wajah seorang
kakek bercambang lalu menghilang. Ia terkaget bangun dari tidurnya. Wajahnya
pucat, tubuhnya bersimbah peluh karena ketakutan.
Dikala fajar mengingsing ia kembali menyusuri pantai
sembari memandang ke tengah laut mencari
pulau yang nampak dalam mimpinya. Lalu tiba- tiba seekor kerbau putih
menghampirinya di pantai Bone, “ Aku bisa menghantarmu ke pulau itu,” kata sang
kerbau mengetahui apa yang ada dalam pikiran Lakipadada.
“ Ya,
tolong tunjukkan pulau itu.”pinta Lakipadada sembari memandang harap pada
kerbau putih itu.
“Aku
akan mengantarmu. Tapi ada syaratnya,”kata sang kerbau.
“Apa
syaratnya?”
“Engkau
tidak boleh memakan dagingku dan keturunanmu tak boleh memakan daging keturunan
dan bangsaku,”kata kerbai dengan yakin.
“Ya, setuju,”jawab Lakipadada sembari mengelus punggung
kerbau putih itu. Mulai saat itu mereka berjalan bersama . Lakipadada, kerbau,
dan anjing pemburu menjadi sahabat sambil terus berjalan tuk menemukan hidup
kekal. Lakipadada dalam perjalanan memberi makan rumput pada sang kerbau dan
kerbau membolehkan Lakipadada duduk di punggungnya dan mereka terus berjalan di
tepi Laut. Hingga mereka tiba di suatu pantai berombak sang kerbau putih
berkata, “Itu pulau yang hendak kamu tuju. Di sana kamu bisa bertemu Tuhan
yang akan memberikan hidup kekal padamu.” katanya sembari memandang ke suatu
pulau yang nampak kecil di tengah lautan.
Lakipadada memandang
tengah laut berusaha mengamati pulau itu. Lalu tiba- tiba langit berubah
jadi mendung, ombak lautan menjadi makin tinggi dan angit bertiup makin
kencang. Walaupun begitu Lakipadada tak mengurungkan niatnya sedikitpun. Suara
dalam batinnya bergema makin kuat tuk menemukan hidup kekal. Sejenak ia
teringat pada Ibu dan adik yang telah mati meninggalkannya. Kini matanya
memandang dengan yakin ke arah suatu pulau kecil di antara ombak dan badai yang
kian mengamuk. Namun ia bingung bagaimana cara menuju pulau yang jauh di tengah
lautan. Lalu tiba- tiba seekor buaya muncul dari dalam laut menghampirinya.
Buaya berkata, “Aku akan menghantarmu ke sana tapi ada syaratnya.”
“Apa syaratnya ?”tanya Lakipadada.
Jawab buaya, “Aku sangat lapar. Jadi kamu harus
memberikanku makan. Kamu harus memberikan kerbau itu untuk kumakan ?” ucapnya
sambil memandang pada kerbau putih yang kelihatan gemuk.
Bagai disambar petir Lakipadada kaget mendengar syarat
itu. Ia barusaja mengangkat sumpah untuk tidak mencelakakan kerbau. Dan kini ia
dipaksa tuk menyerahkan kerbau kepada buaya.
“Begini,” kata kerbau, “biarlah saya sendiri yang
menyerahkan diriku pada buaya, asal kamu sungguh sungguh memegang janjimu.
Sekali lagi aku mohon padamu dan pada keturunanmu agar tak makan daging keturunanku dan bangsaku.”
“Terima kasih sahabatku. Saya akan mengingat budi baikmu.
Dan saya akan tetap memeihara janjiku.”sumpah Lakipadada sekali lagi.
Lalu kerbau putih menyerahkan nyawanya tuk dimakan sang
buaya.
Setelah kenyang memakan kerbau buaya mempersilahkan
Lakipadada naik ke atas punggungnya. Namun anjing kesayangan Lakipadada takut
tuk menyeberangi lautan. Ia hanya menggonggong, “Nggounk....nggong....gong....”
suaranya makin pelan dan pelan. Nampaknya ia sangat sedih harus berpisah dengan
tuannya. Ia sembari mengayunkan kaki meraih kaki Lakipadada. Melihat itu
Lakipadada merasa kasihan lalu mengelus kepala anjing yang telah menemaninya
sejak di negerinya Tana Toraja.
“Terima kasih sahabatku,” kata Lakipadada. Lalu ia kembali naik ke atas punggung buaya.
“Terima kasih sahabatku,” kata Lakipadada. Lalu ia kembali naik ke atas punggung buaya.
Perlahan buaya yang dinaiki Lakipadada berenang
mengibaskan ekornya ke arah ombak lautan. Makin ke tengah ombak makin tinggi
angin badai terasa makin kencang. Lakipadada mulai merasa takut. Hingga tepat
di tengah laut tiba- tiba ombak menggulung sangat tinggi hingga menghanyutkan
mereka. Lakipadada terdampar di suatu batu karang. Ia selamat namun
terperangkap di sebuah batu di tengah lautan. Malam berganti malam, hari
berganti hari, bulan berganti bulan, Ia tetap berada di sana dalam waktu yang
lama. Hidupnya bergantung dari hewan- hewan laut di sekitar batu. Perawakannya
makin tak terurus, rambutnya acak- acakan, dan sulit tuk dikenali lagi.
Walaupun begitu sepintas dari sorot matanya masih tampak bersinar kerinduan
besar tuk temukan hidup kekal. Hingga beberapa
lama kemudian seekor buaya lain, buaya raksasa datang menghampiri lalu
mengantarnya ke pulau Maniang. Itulah pulau tempat Puang Matua sebagai seorang
kakek bercambang putih yang ada dalam mimpinya.
Kini Lakipadada sudah berada di pulau yang ia cari namun
ia belum menemukan sang kakek.
Setelah beberapa hari mencari di sekeliling pulau ia tak
menemukan seorangpun.
Dalam
lelahnya ia
sejenak duduk di bawa sebuah pohon yang besar. Lalu tiba- tiba terdengar suara
gemuruh dari atas awan kelam, “Lakipadada kemarilah !”
Ia menengadah, nampak olehnya seorang Kakek Tua berdiri
di atas awan, rambutnya panjang serta bercambang putih.
“Apa yang kau kehendaki ?” tanya sang Kakek.
“Kuingin hidup kekal,”jawab Lakipadada.
“Kemarilah,”pinta sang Kakek.
Perlahan Lakipadada mendekati Kakek itu, namun ia merasa
takjub, wajah dan tubuh Sang Kakek memancarkan sinar halus. Matanya besar
berseri menyiratkan kesejatian punuh.
“Apa yang kau inginkan anak muda ?” tanya Kakek sekali
lagi sembari memandang masuk ke dalam mata Lakipadada.
Lakipadada sejenak terdiam tak sanggup menengadah, ia lalu berkata,
“Bapa, saya ingin Hidup Kekal.”
Sang Kakek memandangnya penuh kasih, “Kalau itu yang kamu
inginkan Aku akan memberikannya, tapi kamu harus melalui satu syarat.”
Hati Lakipadada berdebar- debar menunggu syarat yang akan diajukan
sang Kakek.
“Kamu harus bertahan selama 7 hari 7 malam tidak makan,
tidak minum, dan tidak tidur. Setelah itu kamu akan memperoleh Hidup Kekal,“ kata sang Kakek sembari meletakkan telapak tanganNya di pundak Lakipadada.
Lalu sekejap sang Kakek menghilang.
Kini tiba hari- hari perjuangan Lakipadada.
Tanpa makanan, tanpa air, dan tanpa tidur.
Kian waktu tubuh Lakipadada makin lemah. Pada hari
pertama ia berdiam di atas sebuah bukit tanah di tengah- tengah pulau. Hari
pertama dapat ia lalui, siang malam ia menahan lapar dan haus, terang dan gelap
dilaluinya tanpa sedikitpun terlelap.
Lalu tibalah ia pada hari selanjutnya, sang fajar
tersenyum dari selah awan Timur seolah memandang salut padanya memasuki hari
kedua.
Lakipadada tetap terdiam sembari memandang gumpalan awan
bergerak perlahan menghampiri sang fajar. Hingga ia kembali ke peraduannya di
ufuk barat. Lakipadada tetap berdiam tak
mau buang banyak tenaga. Hari keduapun berlalu dan kini ia memasuki hari yang
ketiga. Lakipadada semakin lapar. Hari itu langit menjadi mendung lalu hujan
mengguyur seluruh pulau. Lakipadada berteduh di bawah pohon beringin. Saat
sementara di bawah pohon tiba- tiba seekor burung Gagak membawa seiris daging
segar di hadapannya,
“Makanlah,”pinta burung gagak dengan suara lembut.
Lakipadada hanya diam sembari menunduk ke tanah. Si
burung gagak lalu terbang ke suatu tempat, tak lama kemudian ia datang lagi.
Kali ini ia membawa buah segar berwarna merah. Ia meletakkan daging dan buah
itu di pangkuan Lakipadada.
“Makanlah, kalau kamu lapar!” pinta si burung gagak sekali
lagi sebab ia tahu Lakipadada merasa sangat lapar.
Lakipadada berkata pelan,
“Teman, pergilah. Biarkan aku memperoleh Hidup Kekal.”
Si burung Gagak yang mencobai dia menjadi malu lalu
pergi.
Dengan demikian Lakipadada tetap bertahan melawan lapar,
haus, dan kantuknya hingga hari ketiga berlalu.
Kini ia memasuki hari yang keempat.
Pagi- pagi sekali sebelum sang surya terbit ia menuruni
bukit dengan tubuh lemah menahan lapar, haus, dan kantuknya. Setiba di bawah
bukit ia berdiam di rerumputan ilalang, sejenak ia merebahkan tubuhnya
sembari memandang langit .
Lalu tiba-
tiba muncul seekor Siluman Singa hendak menerkam kepalanya. Ia terkaget, dengan cepat ia menghindari sergapan
sang siluman
singa. Namun singa tak tinggal diam, ia terus berusaha menerkam Lakipadada.
Mereka bergulat dengan sengitnya sepanjang hari. Dan akhirnya singa mengaku
kalah dan pergi meninggalkan Lakipadada.
Lakipadada yang kelelahan merebahkan dirinya dan terdiam
di bawah sebatang pohon. Angin malam mulai berhembus, perlahan meraba
setiap raga yang
ia sentuh, Lakipadada hanya terdiam hingga terbuai dalam nafasnya. Sayang seribu sayang malam itu Lakipadada tertidur
dan tak sadarkan diri tu tetap berjaga.
Melihat itu Sang
Kakek perlahan menghampirinya dan dengan diam- diam Ia mengambil pedang pusaka
milik Lakipadada. Sebagai bukti bahwa Lakipadada telah gagal, Sang Kakek
memotong ujung pedang itu. Di kala pagi ketika Lakipadada terbangun Kakek bertanya,
“Lakipadada, apakah engkau tertidur ?”
Lakipadada masih sempat ingin menyangkal namun Sang Kakek menunjukkan pedang
Lakipadada yang telah patah ujungnya sebagai bukti.
Dengan begitu Lakipadada telah gagal melewati ujiannya.
Ia tak mendapatkan hidup Kekal seperti yang Kakek janjikan. Ia sedih tak mampu
melewati ujiannya, namun Sang Kakek mengasihinya sehingga Kakek berjanji akan
memberikan Hidup Kekal padanya setelah ia menjalani hidupnya dalam kebaikan di
dunia.
Setelah peristiwa itu Lakipadada
semakin sadar bahwa Hidup Kekal sesungguhnya diperoleh setelah kematian. Ia
sadar selama masih terikat dengan tubuh ia tidak mampu melepaskan diri dari kebutuhan makan, minum dan istirahat. Melainkan
kebutuhan- kebutuhan tubuh itulah sarana Allah pada diri manusia tuk memperoleh
hidup kekal kelak. Setelah peristiwa itu Lakipadada semakin mensyukuri dan
menerima hidupnya. Iapun terus hidup dalam kerinduan yang terus bergema akan
kehidupan kekal setelah kematian. Ia kemudian kembali dari pulau itu dengan bantuan seekor Elang Raksasa (Langkan Maega).
Hari- hari kemudian ia lalui sambil terus berbuat baik dalam cinta
kasih.
Writed By
Hardaely Palloan dan Tino Adbar
Komentar
Posting Komentar